Dilematis Kewarganegaraan Ganda di Perbatasan, Bertahan Hidup atau Kedaulatan Negara?
GEMAKALTARA.COM | NUNUKAN, KALTARA – Kewarganegaraan Indonesia menganut asas ius sanguinis (keturunan) dan asas ius soli secara terbatas (tempat lahir), serta asas kewarganegaraan tunggal dan ganda terbatas, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Ini berarti seseorang bisa menjadi warga negara berdasarkan keturunan orang tuanya (ius sanguinis) atau tempat kelahirannya (ius soli), dengan ketentuan khusus yang berlaku untuk menghindari kewarganegaraan ganda pada anak.
Hal tersebut mengemuka pada Focus Group Discussion (FGD) gelaran PWI Nunukan di Balai Pertemuan Umum (BPU) Desa Sungai Nyamuk, SebatikTimur, Kamis (25/9/2025) yang mengangkat persoalan fenomena kewarganegaraan ganda khususnya di perbatasan Indonesia – Malaysia
Andi Mulyono, Ketua Komisi I DPRD Nunukan salah satu narasumber menyampaikan, dalam keluarganya sendiri yakni adiknya, lahir dan besar di Tawau sehingga secara otomatis diberikan identitas Malaysia, bahkan diberikan tanah oleh negara tersebut. Namun memilih menjadi warga negara Indonesia serta memahami konsekuensi hukumnya jika identitas Malaysia itu ditemukan. Ia tidak mengurus administrasi di Malaysia, menghilangkan identitasnya di sana. Dulu, dengan IC (identitas Malaysia), seseorang bisa bekerja dengan bebas dan terjamin keamanannya serta kesejahteraannya.
“Ketentuan perundang-undangan di Republik Indonesia dengan jelas melarang kepemilikan dua identitas kewarganegaraan. Bahkan kesalahan kecil penulisan nama pada paspor saat melaksanakan ibadah haji atau umroh dapat menjadi masalah besar di imigrasi. Petugas imigrasi dan Dukcapil telah berupaya maksimal dalam melaksanakan tugas mereka” lanjutnya.
Namun di Sebatik, persoalan menjadi kompleks, tidak dapat dipungkiri, banyak warga yang secara diam-diam mungkin lebih memilih menjadi warga negara Malaysia karena faktor kesejahteraan hidup.
Kebutuhan pokok seperti minyak, beras, dan gula sulit didapatkan di sini. Jadi, sulit menyalahkan pilihan tersebut karena memang tidak ada pilihan lain.
Sementara itu, Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Nunukan Agustinus Palantek menyampaikan, sebagai bagian dari warga negara Indonesia, dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) yang memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK).
“Terkait data masyarakat di Sebatik yang teridentifikasi memiliki IC (identitas Malaysia) dan KTP Indonesia, Dinas Kependudukan tidak memiliki data tersebut karena tidak dapat mengidentifikasi siapa saja yang memiliki IC” lanjutnya.
Agustinus melanjutkan, dalam melaksanakan tugas dan fungsi, pihaknya memproses permohonan masyarakat sesuai dengan permohonan yang masuk. Petugas Disdukcapil tidak turun ke lapangan untuk mengidentifikasi apakah seseorang memiliki IC atau tidak, ketika persyaratan yang disyaratkan sudah lengkap, misalnya pengantar dari ketua RT, lurah, camat, dan seterusnya akan di proses.
“Ketika persyaratan sudah dilengkapi, Dinas Kependudukan wajib memproses karena kita sudah mempercayai proses verifikasi yang dilakukan, kami tidak boleh mengintervensi kewenangan mereka. Ketika berkas sampai ke Dukcapil, wajib kami proses,” ungkapnya.
Kasubsi Lalu Lintas Keimigrasian Kantor Imigrasi Nunukan Zulfan Adrian Pratama mengatakan, penentuan status kewarganegaraan merupakan isu krusial yang secara tegas diatur oleh undang-undang di Indonesia, di mana kepemilikan dua kewarganegaraan tidak diperbolehkan. Ranah penentuan status ini secara fundamental berada di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), khususnya melalui Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU).
Dengan adanya kabinet terbaru di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo, struktur Kemenkumham mengalami pemekaran menjadi tiga kementerian terpisah: Kementerian Hukum, Kementerian Hak Asasi Manusia, serta Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan.
“Meskipun demikian, kewenangan penentuan status kewarganegaraan tetap berada pada entitas yang mengurusi hukum, yakni Kementerian Hukum,” ujar Adrian mewakili Kepala Kantor Imigrasi Nunukan yang berhalangan hadir.
Imigrasi memiliki peran vital dalam penegakan aturan kewarganegaraan, utamanya dalam kasus-kasus deportasi atau penemuan individu yang diduga memiliki kewarganegaraan ganda. Proses verifikasi yang dilakukan Imigrasi sangat teliti. Misalnya, jika seseorang diduga sebagai warga negara Malaysia, Imigrasi akan melakukan verifikasi ke Konsulat Malaysia untuk memastikan apakah individu tersebut terdaftar sebagai warga negara Malaysia. Demikian pula, verifikasi dilakukan terhadap status kewarganegaraan Indonesianya.
“Jika terbukti seseorang memiliki dua kewarganegaraan, maka salah satu status harus gugur. Apabila individu tersebut ditentukan sebagai warga negara asing, Imigrasi akan melakukan tindakan administrasi keimigrasian berupa deportasi, yaitu memulangkan yang bersangkutan ke negara asalnya. Sebaliknya, jika terbukti sebagai Warga Negara Indonesia (WNI), maka tidak ada masalah” ungkapnya.
Sementara itu, Direktur Politeknik Nunukan Arkas Vedy menyampaikan perlunya kehadiran negara untuk wilayah perbatasan dalam mengerakkan ekonomi dan penyediaan kebutuhan masyarakat sehingga tidak terjadi lagi keinginan untuk berusaha mendapatkan kewarganegaraan ganda.
“Diibaratkan Semut, dimana ada gula pasti akan dikerubutin semut, negara harus menciptakan peluang – peluang ekonomi di perbatasan sehingga masyarakat kita akan berbondong – bondong kembali untuk berusaha di negara sendiri, tidak lagi tertarik ke negara lain dengan cara yang unprosedural” tekannya. (GK/Sy)